KOMUNITAS SEPEDA GUNUNG JOGJA
Jogja dahulu
kala adalah kota ramah sepeda. Kendaraan bertenaga manusia ini identik
mendominasi ruas-ruas jalan sekitar tahun 70-an. Termasuk generasi ayah ibu
kita, boleh jadi merasakan masa-masa indah demikian pula. Jogja di waktu tersebut
belum menjadi target utama kedatangan para pelajar rantau se-nusantara dan para
pengusaha. Kendaraan-kendaraan pencipta karbondioksida dan gedung-gedung hotel
megah masih belum mewarnai atmosfer si kota gudeg tercinta.
Di masa sekarang, sepeda tidak hanya
difungsikan sebagai sarana transportasi utama dalam kota. Dia sudah menjadi
bagian dari gaya hidup masyarakat Jogja pada umumnya. Hal itu diikuti dengan
bertumbuhnya komunitas pesepeda dengan ciri masing-masing. Maka wajar, jika
jadwal gowes bareng setiap minggunya selalu ada. Di beranda facebook saya,
undangan semacam itu tidak habis-habis. Saya share saja meskipun tidak
semuanya bisa diikuti.
Sabtu dan Minggu adalah waktunya para pekerja
kantoran, termasuk saya, untuk bertemu rekan-rekan sesama pesepeda dari beragam
latar belakang profesi. Tidak kalah marak, acara gowes bareng di malam hari
dengan rute sekitaran kota hingga blusukan ke desa-desa dengan penerangan
minimal. Tinggal memilih mau ikut yang mana, dan kuatnya sampai mana.
Gowes bareng komunitas, biasanya tidak perlu
pendaftaran maupun ditarik biaya. Penyelenggara pun tidak membatasi jenis
sepeda yang dimiliki peserta. Kecuali itu merupakan event tahunan, misalnya
jambore nasional sepeda Federal atau sepeda lipat.
Ada begitu banyak komunitas sepeda yang
terbuka dan ramah terhadap para pesepeda lain ketika mengadakan acara gowes
bareng. Mereka tidak merasa perlu menyeleksi siapa-siapa saja yang bisa menjadi
peserta. Tidak pula mewajibkan peserta untuk memakai jersey mereka agar seragam
dari barisan depan hingga belakang. Apa yang harus ditaati adalah rambu-rambu
lalu lintas, agar tidak mengganggu para pemakai jalan. Pertemanan selain
bertemu muka, juga dieratkan melalui media sosial facebook. Dimulai dari nge-tag foto,
bisa lanjut janjian buat ikutan gowes bareng berikutnya.
Saya bahas deh beberapa komunitas sepeda di
Jogja, siapa tahu ada yang juga sedang mencari-cari informasi.
Kalau punya sepeda lipat (seli), boleh banget
gabung dengan Jogja Folding Bike (FJB). Awal Maret kemarin saya ikut gowes
bareng mereka ke Imogiri. Jika menganggap seli adalah milik kaum urban yang
tidak kuat mengayuh pedal hingga jarak jauh, sebab jika lelah tinggal dilipat
dan masuk ke bagasi mobil, eit tunggu dulu. Meski diameter ban seli hanya 16
inci, alias 7 inci lebih kecil dari ban standar, Mbak Dyah Purwanti dan
teman-temannya begitu tangguh melewati tanjakan demi tanjakan dengan kayuhan
yang stabil sementara saya memilih loncat turun dari sepeda dan menuntun
bersama pesepeda lain. Bukan perkara sepeda apa yang dipakai, tapi siapa yang
memakai sepeda itu, adalah penentunya. Buka pula album foto FJB, baru-baru ini
mereka mem-posting gowes
bareng ke Magelang untuk peresmian komunitas seli di sana.
Lanjut, yang kedua adalah komunitas sepeda
tinggi. Mereka akan muncul dan ramai-ramai bergabung di event bulanan
Jum’at terakhir bertajuk; Jogja Last Friday Ride (JLFR). Selebihnya, saya hanya
sesekali melihat mereka beredar di jalanan. Omong-omong, jujur saja saya belum
punya keberanian menjajal tipe yang satu ini. Naik dan turunnya sama-sama
membutuhkan timing yang tepat. Salah cara, bisa-bisa jatuh
dari ketinggian 3 meter. Oh ya, saya punya teman bernama Bekti. Dia aktif pula
di komunitas Jogja Garuk Sampah. Masih 18 tahun tapi sangat peduli lingkungan.
Jika melihat sebuah sepeda onthel dengan plat
P O NO, tidak lain tidak bukan milik salah satu member dari komunitas sepeda
kuno Jogja. Pak Pono membuat tunggangannya terlihat cantik dengan beragam
aksesori lampu dan bel segala bunyi. Dia begitu mudah mengingat nama orang. Ah,
atau nama saya yang terlalu mudah diingat orang, ya? Selain pesepeda lipat,
jangan pernah meremehkan para penunggang sepeda onthel kelas master. Saya
memang belum pernah melihat bapak satu anak ini berfoto dengan mengangkat sepeda
seperti tren yang sedang digandrungi para pemilik sepeda karbon kekinian. Tapi
melihat dia berfoto di Spot Riyadi membuat saya ingin memberikan standing
ovation.
Di kantor, saya baru ngeh jika ada seorang
pesepeda DH (downhill)
yang sudah pensiun dini. Miranto namanya. Aktivitas komunitas ini tidak
jauh-jauh dari kebut-kebutan menuruni bukit dengan sepeda yang memang dirancang
ringan, bodi kuat, dan ban khusus. Dua pesepeda DH yang saya kenal sama-sama
pernah mengalami kecelakaan parah dengan muka mendarat lebih dulu. Jika Miranto
kapok dan menjual sepeda yang seharga satu motor bebek baru, Mbak Ratna
Widayanti masih terus ber-DH hingga usianya sekarang menginjak 35 tahun dan
sudah punya anak.
Komunitas Bike to Work yang saya tahu sangat
taat peraturan lalu lintas. Ketika lampu merah, mereka berhenti di ruang tunggu
sepeda yang berwarna hijau atau di belakang zebra cross. Setiap berkendara,
helm selalu di kepala. Selalu berjalan di jalur sepeda di sisi kiri jalan yang
malah digunakan parkiran tukang becak maupun kendaraan lain. Mereka datang dari
kalangan pekerja. Gathering mingguan mereka
setiap Rabu, pukul 4 sore. Jelas saya tidak pernah bisa ikut. Tapi untunglah
minggu lalu mereka membuat agenda gowes bareng di malam hari. Kami menikmati
malam menyusuri pedesaan nan gelap dan berkerikil selama satu setengah jam.
Keringat bercucuran di malam yang berudara sejuk. Bulu kudu pun merinding
ketika ada yang bercerita tempat yang kami lewati ada arwah prajurit Jepang
gentayangan.
Bagi penggemar road bike alias sepeda
balap, coba aja gabung ke Keong Gowes Road Bike. Jadi jangan heran kalau
pesepedanya gemar mengayuh pedal dengan kekuatan penuh. Bodi road bike dirancang
agar ringan, ditambah rodanya yang tipis mirip fixie. Digunakan untuk turnamen
balap sepeda, semisal Tour de France. Jika gowes bareng, mereka ini akan
terlihat kompak dari kecepatan mengayuh hingga jersey. Pantangan road bike adalah
jalanan tanah. Di jalanan beraspal, mereka menjadi raja yang sulit terkalahkan.
Harga sepeda mereka tidak ada yang kisaran satu juta. Menabunglah jika ingin
punya satu unit.
Bersepeda zaman sekarang tetap sama
menyenangkannya dengan zaman dahulu. Menambah teman baru yang sehobi sudah
pasti. Anda tidak akan disumpahserapahi pesepeda lain karena ber-kring-kring
ria. Keseduluran sesama pesepeda di Jogja boleh jadi tidak akan ditemukan di
tempat-tempat lain. Lagi-lagi unsur akar sejarah bersepeda menjadi alasan mengapa
begitu hidupnya komunitas sepeda di Jogja.
Akhir kata, sepeda sih boleh saja beda-beda,
tapi bukankah kesenangan yang didapatkan dari mengayuh sepeda lipat, sepeda
tinggi, sepeda kuno, sampai road bike adalah sama?
Jalanan yang dilalui pun sama. Yuk, gowes bareng di Jogja!
Sekian artikel saya yang ke-63,
berikutnya saya akan membahas tentang Komunitas sepeda Gunung Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar